Aspek kependudukan merupakan hal paling mendasar dalam pembangunan. Dalam nilai universal, penduduk merupakan pelaku dan sasaran pembangunan sekaligus yang menikmati hasil pembangunan. Dalam kaitan peran penduduk tersebut, kualitas mereka perlu ditingkatkan melalui berbagai sumber daya yang melekat, dan perwujudan keluarga kecil yang berkualitas, serta upaya untuk menskenario kuantitas penduduk dan persebaran kependudukan. Adapun yang dimaksud dengan kuantitas penduduk meliputi jumlah, struktur komposisi, dan pertumbuhan penduduk yang ideal melalui pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian,dan persebaran penduduk yang merata. Jumlah penduduk, komposisi umur, dan laju pertambahan atau penurunan penduduk dipengaruhi oleh fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan migrasi (perpindahan tempat) karena ketiga variabel tersebut merupakan komponen–komponen yang berpengaruh terhadap perubahan penduduk (Lucas ;1990).
Masalah utama yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia tidak hanya masalah ekonomi yang terbelenggu dalam tatanan lingkungan ekonomi dunia yang cenderung merugikan. Sebagian besar negara sedang berkembang juga mengalami permasalahan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Secara bersamaan dalam dua dasawarsa terakhir ini pula telah terjadi perubahan ciri-ciri demografis penduduk dunia, antara lain berupa penambahan jumlah, perubahan struktur dan komposisi penduduk.
Berdasarkan sensus penduduk 1961, lndonesia berpenduduk lebih kurang 97 juta jiwa dan jumlah ini meningkat menjadi 119,2 juta pada tahun 1971. Bilamana tingkat pertambahan penduduknya tetap berada pada taraf yang tinggi (di atas 2% per tahun), maka dalam tahun 2001 penduduk lndonesia akan menjadi tiga kali lipat jumlah pada tahun 1961. Ditinjau dari segi besarnya jumlah penduduk di dunia, maka lndonesia menempati kedudukan nomor lima sesudah RRC, India, Uni Sovyet dan USA.
Berdasarkan hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS;2005) yang diambil dari data BPS dalam Sulsel Dalam Angka Tahun 2006, menyebutkan bahwa jumlah penduduk Sulsel sebanyak 7.494.701 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Sampai tahun 2005, angka jumlah penduduk di Kota Makassar masih tergolong tinggi ketimbang daerah-daerah lainnya. Sekitar 1.193.451 jiwa penduduk Sulsel berdiam di Kota Makassar. Jumlah penduduk Kota Makassar yang begitu besar dibandingkan dengan luas wilayah yang sempit hanya 17,577 hektar memicu persoalan kebutuhan penduduk terhadap lahan pemukiman dan pemanfaatan lahan lainnya (BPS Sul-Sel Dalam Angka ;2006).
Kondisi tersebut juga terjadi di kota Makassar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat besar yang disebabkan oleh factor demografi seperti mortalitas, urbanisasi, dan fertilitas (fertilitas). Dibawah ini adalah table jumlah penduduk kota Makassar dari tahun 2001 sampai 2009.
Table 1
Jumlah Penduduk di Kota Makassar
Tahun | Jumlah Penduduk |
2001 | 1,130.38 |
2002 | 1,148.31 |
2003 | 1,160.01 |
2004 | 1,179.02 |
2005 | 1,193.43 |
2006 | 1,223.54 |
2007 | 1,235.11 |
2008 2009 2010 | 1,253.65 1,271.87 1,339.37 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Sul-sel
Melonjaknya penduduk setiap tahunnya disebabkan oleh salah satu faktor yaitu banyaknya fertilitas di kalangan rumah tangga miskin yang tak terbendung. Ini dikarenakan anak dianggap sebagai barang produksi. Berdasarkan aspek produksi utilitas anak berbeda dengan aspek konsumsi. Karena utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas (Becker ;1995). Namun teori yang dikemukakan diatas berbeda dari teori Menurut Goldscheider (Ibrahim ;1997) terdapat hubungan yang positif antara pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan dengan fertilitas. Hal ini diamati dari dua kecenderungan yang saling berbeda yaitu; kenaikan fertilitas suatu kelompok karena berstatus lebih tinggi dan perubahan keinginan kelompok tersebut untuk memiliki keluarga lebih besar; dan penurunan fertilitas dari kelompok berstatus lebih rendah karena mereka semakin ekspansif dan sukses dalam menggunakan alat kontrasepsi.
Dahulu sebagian besar masyarakat, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo “banyak anak banyak rezeki”, maka sekarang pameo itu berubah menjadi “banyak anak banyak beban”. Keuntungan financial (materi) dan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang tua apabila mempunyai anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak. Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk anak akan besar pula dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya. Dari beberapa hasil penelitian tentang fertilitas, dilihat dari segi ekonomi yang menjadi sebab utama tinggi rendahnya fertilitas (fertilitas) adalah beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini ada dua pandangan yang saling bertentangan. Pandangan pertama beranggapan bahwa dengan mempunyai jumlah anak yang banyak dapat meringankan beban ekonomi yang harus ditanggung orang tua. Di sini anak dianggap dapat membantu (meringankan) beban ekonomi orang tua bila mereka sudah bekerja. Pandangan kedua, yang dapat dikatakan pandangan yang agak maju, beranggapan bahwa anak banyak bila tidak berkualitas justru menambah dan bahkan akan memperberat beban orangtua kelak. Dengan anggapan seperti ini, mereka menginginkan (mengharapkan) jumlah anak sedikit,tetapi berkualitas.
Banyak faktor yang mempengaruhi fertilitas (fertilitas) yaitu tingkat pendapatan,biaya anak, jam kerja, usia kawin pertama, tingkat pendidikan (SLTP ke bawah dan SLTP ke atas, serta jenis pekerjaan (dalam rumah ataupun luar rumah). Keterkaitan pada pendapatan terhadap fertilitas adalah ketika pendapatan seseorang naik akan semakin besar pengaruhnya terhadap penurunan fertilitas yang terjadi.
Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biaya (cost) nya naik. Sedangkan kegunaannya turun sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Disamping itu orang tua juga tidak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan “demand” terhadap anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun.
Penelitian mengenai kaitan pendidikan wanita dengan kesuburan di beberapa negara, sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan adanya kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan tingkat kesuburan. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah kesuburan begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin besar pula tingkat kesuburannya. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi fertilitas adalah jam kerja yang dihabiskan oleh wanita untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-harinya. Semakin banyak waktu yang dikeluarkan untuk bekerja semakin kecil kemungkinan untuk memperoleh anak. Dan faktor terakhir yang mempengaruhi fertilitas yaitu jenis pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah. Jika pekerjaan dilakukan di dalam rumah maka akan semakin besar pula peluang untuk dapat memiliki anak lebih banyak sementara jenis pekerjaan yang dilakukan di luar rumah peluang untuk menambah anak akan semakin kecil dikarenakan intensitas waktu di rumah akan berkurang.
Badan Pusat Statistik menggunakan indikator pengeluaran rata-rata per bulan yang mencukupi makanan setara dengan 2100 kalori per kapita/hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya seperti perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan dan transportasi, tercatat angka kemiskinan di Kota Makassar akhir 2009 sebesar 62,096 kepala keluarga atau 254.000 jiwa. Jika dipersentasekan mencapai 19,79 persen. Dibandingkan dengan tahun 2008 sebanyak 68.477 maka terlihat mengalami penurunan penduduk miskin sebanyak 6000 jiwa (BPS Makassar Dalam Angka ;2009).
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu kiranya dirumuskan suatu masalah untuk diteliti. Rumusan masalah itu adalah :
“Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas pada wanita pekerja di Kota Makassar (rumah tangga miskin)”
Post a Comment