BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan tatanan perekonomian secara global dewasa ini pada akhirnya juga berakibat pada perekonomian Indonesia. Dalam kondisi yang serba tidak memungkinkan akibat penurunan produksi di sektor pertanian, segala macam kebutuhan pokok terpaksa harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Gula adalah salah satu dari sekian banyak produk yang harus dipenuhi permintaannya.
Disamping itu gula juga merupakan salah satu dari kebutuhan bahan pokok yang ketersediaannya harus dijamin oleh Pemerintah. Kekurangan gula di pasaran mengharuskan Pemerintah mencari alternatif lain agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Hal itu dapat ditempuh dengan beberapa pilihan, misalnya impor dari luar negeri. Alternatif lain yaitu memaksimalkan produksi gula dalam negeri dengan menambah jumlah pabrik gula yang ada. Konsekwensinya yaitu kebutuhan akan bahan baku utama (tebu) dan bahan pendukungnya (chemikal dll) harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Bea masuk untuk gula impor di Indonesia termasuk rendah yaitu berkisar 35%. Sementara itu di negara-negara maju yang penghasil gula, mereka menerapkan bea masuk gula impor dengan angka yang cukup tinggi. India misalnya bahkan menerapkan bea masuk sebesar 120%. Dilihat dari jumlah angka bea masuk yang besar, secara otomatis negara pengekspor akan berpikir dua kali untuk mengirimkan barang mereka.
Sedangkan untuk kasus di Indonesia situasi impor masih kacau, terdapat selisih sebesar Rp1.050,- sampai Rp1.150,- per kg antara gula yang masuk melalui impor resmi dan selundupan. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 220 juta, sedang produksi nasional baru mencapai 1.63 juta ton atau baru sekitar 55 % kebutuhan gula nasional. Hal ini berarti, berapapun gula yang masuk akan segera terserap habis (Suwandi dalam Widodo, 2004). Agroindustri pergulaan di Indonesia telah banyak memberikan manfaat yang besar bagi sebagian penduduk. Jika keberadaan pabrik gula tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah, maka dikhawatirkan ada jutaan orang yang menganggur akibat ditutupnya beberapa pabrik gula. Selama ini mereka dan keluarganya selalu menggantungkan hidup pada aktivitas pabrik. Pada dasarnya terdapat dua tantangan pokok sekaligus yang tidak bisa dihindari, yakni tantangan internal dan eksternal.
Tantangan internal berupa kekurangan gula produk dalam negeri karena menciutnya luas areal lahan yang cocok, produktivitas menurun, biaya produksi meningkat dan aturan-aturan kepegawaian sejalan dengan bergulirnya arus reformasi. Tantangan eksternal ialah komitmen Indonesia untuk melakukan liberalisasi perdagangan, yaitu tahun 2003 di kawasan Asia Tenggara melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area), tahun 2008 di Asia Pasifik dalam kesepakan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan tahun 2020 dalam kesepakatan WTO (Word Trade Organization). Dengan adanya beberapa kesepakatan tersebut Indonesia dituntut untuk mampu meningkatkan produksi, dari segi kuantitas maupun kualitas, berdaya saing tinggi tanpa proteksi Pemerintah. Proteksi Pemerintah saat ini diperkecil secara bertahap. Namun walaupun ada proteksi terhadap pergulaan, konsumsi untuk dalam negeri memang masih kurang. Kekurangan ini semakin membengkak sehubungan dengan adanya pertambahan jumlah penduduk. Sejalan dengan kecenderungan pergeseran pusat ekonomi dunia ke kawasan Asia Pasifik yang kebanyakan negaranya merupakan mitra utama Indonesia, maka negara-negara tersebut yang tergabung dalam APEC diperkirakan akan banyak mempengaruhi perekonomian Indonesia, termasuk perdagangan gula. Dengan demikian, gula sebagai salah satu dari sembilan kebutuhan pokok (sembako), harus bisa tercukupi dan dijaga eksistensinya.
Sedangkan untuk kasus di Indonesia situasi impor masih kacau, terdapat selisih sebesar Rp1.050,- sampai Rp1.150,- per kg antara gula yang masuk melalui impor resmi dan selundupan. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 220 juta, sedang produksi nasional baru mencapai 1.63 juta ton atau baru sekitar 55 % kebutuhan gula nasional. Hal ini berarti, berapapun gula yang masuk akan segera terserap habis (Suwandi dalam Widodo, 2004). Agroindustri pergulaan di Indonesia telah banyak memberikan manfaat yang besar bagi sebagian penduduk. Jika keberadaan pabrik gula tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah, maka dikhawatirkan ada jutaan orang yang menganggur akibat ditutupnya beberapa pabrik gula. Selama ini mereka dan keluarganya selalu menggantungkan hidup pada aktivitas pabrik. Pada dasarnya terdapat dua tantangan pokok sekaligus yang tidak bisa dihindari, yakni tantangan internal dan eksternal.
Tantangan internal berupa kekurangan gula produk dalam negeri karena menciutnya luas areal lahan yang cocok, produktivitas menurun, biaya produksi meningkat dan aturan-aturan kepegawaian sejalan dengan bergulirnya arus reformasi. Tantangan eksternal ialah komitmen Indonesia untuk melakukan liberalisasi perdagangan, yaitu tahun 2003 di kawasan Asia Tenggara melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area), tahun 2008 di Asia Pasifik dalam kesepakan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan tahun 2020 dalam kesepakatan WTO (Word Trade Organization). Dengan adanya beberapa kesepakatan tersebut Indonesia dituntut untuk mampu meningkatkan produksi, dari segi kuantitas maupun kualitas, berdaya saing tinggi tanpa proteksi Pemerintah. Proteksi Pemerintah saat ini diperkecil secara bertahap. Namun walaupun ada proteksi terhadap pergulaan, konsumsi untuk dalam negeri memang masih kurang. Kekurangan ini semakin membengkak sehubungan dengan adanya pertambahan jumlah penduduk. Sejalan dengan kecenderungan pergeseran pusat ekonomi dunia ke kawasan Asia Pasifik yang kebanyakan negaranya merupakan mitra utama Indonesia, maka negara-negara tersebut yang tergabung dalam APEC diperkirakan akan banyak mempengaruhi perekonomian Indonesia, termasuk perdagangan gula. Dengan demikian, gula sebagai salah satu dari sembilan kebutuhan pokok (sembako), harus bisa tercukupi dan dijaga eksistensinya.
Sebagaimana diketahui, gula dibagi menjadi 2 jenis sesuai peruntukannya, yaitu gula konsumsi rumah tangga (house hold) dan gula industri (sugar industry) untuk industri makanan dan minuman. Berbagai analisis menunjukkan bahwa kebutuhan gula dalam negeri terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan kenaikan pendapatan masyarakat. Kebutuhan akan gula melebihi laju kenaikan produksi dalam negeri. Kecenderungan ini diperkirakan masih berlangsung karena:
- 1 Tingkat konsumsi gula pasir di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 16 kg/kapita/tahun (tahun 2004), jauh di bawah konsumsi gula di Uni Eropa (EU) sebesar 38,5 kg/kapita/tahun, USA 33,4 kg/kapita/tahun. Total rata-rata dunia 21,3 kg/kapita/tahun (Sugar world journal, 2004). Konsumsi per kapita ini proporsional dengan penghasilan seseorang sebagai konsumen gula. Semakin tinggi penghasilannya akan semakin bertambah konsumsi gulanya. Sesuai dengan pola pangan harapan (PPH), konsumsi dalam pola pangan harapan adalah 5 prosen, sementara saat ini baru sebesar 3 prosen. Dengan memacu pada PPH masih terdapat potensi kenaikan yang cukup besar.
- 2. Pertumbuhan sektor industri makanan dan minuman serta agrofood Industri membutuhkan gula sebagai bahan dalam industri yang semakin besar, untuk menghasilan produksi gula memenuhi kebutuhan domestik atau berorientasi ekpor. Gejala ini semakin kondusif di Indonesia, dimana pendapatan perkapitanya sudah sekitar USD. 1000-/ tahun sehingga mendorong penggeseran pola konsumsi gula tidak langsung semakin kuat.
- 3. Permintaan gula saat ini masih elastis terhadap kenaikan pendapatan, yaitu 0,5 prosen.
- 4. Pertambahan penduduk terus berlangsung akan membutuhkan jumlah gula lebih banyak. Selama lima tahun terakir, konsumsi gula pasir di Indonesia telah tumbuh sekitar lima prosen per tahun (Prosiding konggres IKAGI, 2003).
Kesenjangan antara sisi produksi yang lambat pertumbuhannya dan sisi permintaan yang naik lebih cepat, secara potensial mendorong harga gula cenderung meningkat. Bila tidak ditambah suplai dari impor, kesenjangan ini akan semakin lebar. Hal ini akan terjadi bila upaya peningkatan produksi tidak berhasil dilakukan.
Beberapa usaha telah dilakukan Pemerintah, diantaranya ialah membangun pabrik gula di luar pulau Jawa. Tapi usaha ini terhenti oleh keterbatasan dana APBN dan kondisi sosiokultur yang tidak mendukung. Dari sisi perekonomian makro, gagalnya program ini ialah karena melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sekitar akhir tahun tahun 1998 dan kemungkinan sampai beberapa tahun berikutnya (Sadono Sukirno, 2000). Beberapa tahun yang lalu proyek gula di luar Jawa terbengkelai sampai sekarang, bahkan salah satu pabrik gula dengan kapasitas giling 6.000 ton tebu/hari yang masih beroperasi terpaksa ditutup karena produktifitas lahan sangat rendah. Dalam kurun dasa warsa terakhir kondisi lahan semakin memprihatinkan karena semakin marjinal (Suyoto, 2002).
Untuk penanggulangan masalah ini maka Pemerintah mengadakan Regulasi dan kebijakan pergulaan dalam negeri yang dituangkan dalam KEPRES 109/2000. Tiga permasalahan utama dalam keputusan tersebut ialah: (1). Untuk peningkatan produktivitas perlu dibuatkan program akselerasi. Tentang mekanisme pelaksanaan hal ini menjadi wewenang Departemen Pertanian dan Menteri Negara BUMN. (2). Pengaturan tata niaga gula dilaksanakan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, melalui SK Menperindag No. 643/2003. (3). Tentang biaya tarif masuk impor gula diatur oleh Departemen Keuangan, melalui SK Menkeu No. 324/2002.
Sebagai crash-program dalam menangulangi kekurangan konsumsi gula, pemerintah terpaksa mengambil kebijakan impor gula berupa gula rafinasi (refined sugar). Jumlah impor ini diperkirakan rata-rata 900.000 sampai dengan 1.200.000 ton gula setiap tahun (Deperindag, 2003).
Dalam situasi pergulaan yang demikian, diperlukan para investor untuk merencanakan membangun sebuah pabrik gula yang mengolah raw sugar impor menjadi rafined sugar. Bila perbedaan harga raw sugar dan refined sugar berkisar antara 30 sampai denangan 60 US$ per ton maka nilai tambah yang didapat dan didistribusikan dalam sistem perekonomian nasional merupakan penghematan devisa dan penyerapan tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jumlah cukup besar. Terlebih lagi bila diperhitungkan dengan multiple-effect yang secara langsung mengikutinya.
Adanya perbedaan harga rata-rata 45 US$ per ton serta diperhitungkan dengan impor gula sebanyak 1.000.000 ton gula maka akan didapat pernghematan devisa sekitar 45 juta US$ per tahun.
Dengan mulai membaiknya perekonomian nasional maka untuk mendirikan pabrik gula baru atau memproses gula rafinasi merupakan pertimbangan yang perlu dibahas lanjut oleh Pemerintah bersama investor dan fihak-fihak yang berkepentingan. Pangsa pasar produk ini sebagaian besar untuk memasok kebutuhan industri makanan, minuman dan obat-obatan maupun untuk konsumsi minuman langsung masyarakat golongan menengah ke atas. Peluang pangadaan pabrik gula rafinasi cukup besar mengingat kebutuhan gula impor yang semakin meningkat. Banyak tenaga dalam negeri sebagai ahli gula dan sumberdaya manusia terampil yang siap kerja merupakan suatu potensi yang sangat berharga. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah kemampuan manajerial dan sumber pendanaannya.
Dari sisi perekonomian nasional, pembangunan pabrik gula ini seperti telah disebutkan di atas akan berdampak positif karena berdampak multiple effect, diantaranya ialah perusahaan transportasi baik darat, laut maupun udara, perusahaan penyedia bahan pengolahan gula dan perdagangan hasil samping (by-product), yaitu berupa tetes akhir (final-molasses). Untuk keperluan dalam negeri tetes ini sebagai bahan baku pembuatan alkohol, spiritus, monosodium glutamat (MSG) sebagai bumbu masak penyedap makanan. Sebagai contoh multiple effect yang lain : Pengadaan kapur tohor dan arang karbon aktif akan lebih menghidupkan perusahaan yang bergerak dalam bidang tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa di mana ada pembangunan pabrik gula baru, langsung di kawasan tersebut timbul perkembangan roda perekonomian sektor non formal yang sangat pesat. Dari segi pemerintahan, hal ini akan menambah pendapatan asli daerah (PAD) maupun pemerintah pusat secara langsung. Dari segi sosial akan lebih menjamin stabilitas keamanan karena berkurangnya pengangguran terutama dari angkatan muda.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Post a Comment