BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena penting yang mewarnai kompleksnya partisipasi wanita dalam berbagai dimensi kehidupan salah satunya perjuangan di bidang politik. Masa perjuangan perempuan tidak lepas dari program ekspansi demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang memposisikan wanita bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi partisipasinya dalam panggung perpolitikan dunia namun dianggap sebagai pihak yang berpengaruh dan memberi konstribusi penting dalam menentukan kemajuan suatu negara.
Kemodernan dan arus globalisasi sangat gencar mengepakkan sayapnya ke seluruh negara belahan dunia. Hal ini mengantarkan perubahan pola pikir dalam diri perempuan dunia, tak terkecuali di Timur Tengah sebagai kawasan Negara Islam dimana agama mendominasi hampir segala aspek kehidupan negara tersebut, khususnya posisi dan hak-hak perempuan. Tetapi kini, hak politik bagi semua golongan di negara-negara tersebut sudah banyak mengalami perkembangan. Ada beberapa negara yang kini membuka ruang bagi perempuan untuk menjalankan hak politiknya. Antara lain seperti Qatar, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab dan yang belum lama ini adalah Kuwait. Keberhasilan kaum perempuan ini atas kemauan dan dari pola pikir perempuan-perempuan yang modern sehingga tuntutan hak politik mereka dapat terwujud.
Perjuangan politik kaum perempuan atau gerakan perempuan yang lebih dikenal dengan istilah feminismedi berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya ideologi yang dianut oleh bangsa tersebut. Hal ini pula yang mempengaruhi partisipasi dan perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait, yang merupakan salah satu Negara Islam terbesar di dunia.
Isu tentang peranan perempuan menjadi isu yang selalu hangat dibicarakan oleh Negara-negara di dunia. Kehadiran perempuan di ruang politik semakin mendapatkan tempat pada sebagian masyarakat, tetapi juga mendapatkan penolakan dari masyarakat lainnya. Berbagai organisasi di berbagai negara telah banyak terbentuk untuk membicarakan tentang peranan perempuan dan kedudukannya. Di tingkat global, seruan terhadap pihak yang melakukan pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan pihak-pihak yang mengabaikan hak-hak perempuan telah banyak mendapatkan sorotan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi pemikiran Negara-Negara tersebut dan berinisiatif untuk bersama-sama memastikan terjadinya integrasi atas hak-hak perempuan ke dalam berbagai instrument internasional tentang hak-hak asasi perempuan. Hal ini tercermin dalam usaha-usaha perempuan untuk mengembangkan pandangan mereka terhadap hukum-hukum mengenai hak asasi manusia dengan menggunakan perspektif gender dan feminisme.
Konfrensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya.[1] Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Namun pada kenyataanya, masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Gerakan feminisme dimulai pada abad kesembilan belas dengan permintaan oleh beberapa reformis perempuan agar diberikan hak untuk memilih, yang dikenal sebagai “Hak Pilih”, dan untuk hak-hak hukum yang sama dengan pria. Meskipun pemungutan suara itu aman bagi perempuan oleh Amandemen Kesembilan belas ke konstitusi pada tahun 1920, sebagian besar wanita telah membuat keuntungan dalam mencapai kesetaraan hukum dan mengakhiri diskriminasi gender telah datang sejak 1960-an.[2]
Selanjutnya perjuangan politik kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai gencar dilakukan setelah ditetapkannya Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia PBB pada tahun 1948. Namun, perjuangan yang menjadi isu global tersebut menjadi fenomena yang menarik perhatian terutama setelah berakhirnya perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity), atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka.[3]
Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki. Pada Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu revolusi melalui Badan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOK).[4] Kemudian pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Woman PBB, yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal Pendidikan dan pekerjaan:
a. Prioritas pembangunan bagi kaum perempuan.
b. Perluasan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
c. Penyediaan data dan informasi perempuan.
d. Pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin.
Untuk itu, dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan (Woman Empowerment Programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut diperkenalkan tema “Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development, WID)”, yang bertujuan mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan.[5]
Pada tahun 1980 di Kopenhagen diselenggarakan World Conference UN Mid Decadde of Woman, yang mengesahkan UN Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW), konvensi tentang peniadaan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertemuan itu dihadiri oleh sebagian besar Negara di dunia, termasuk Kuwait yang pada saat itu mulai memperhatikan masalah gender.
Tahun 1985 di Nairobi diselenggarakan World Confrence on Result on Ten Years Woman Movement, yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Woman yang bertujuan untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak itu, muncul konsep-konsep dan penelitian-penelitian yang menekankan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan dan perdamaian.[6]
Pada tahun 1985 pula PBB membentuk suatu badan yang dinamakan the Unites Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melakukan studi advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara internasional. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang berlangsung selama sepuluh tahun (1970 - 1980) tidak banyak memberikan hasil yang signifkan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai, bahkan timbul sinisme (male backlash) dari kaum laki-laki terhadap perjuangan tersebut. Berdasarkan berbagai hasil studi, maka tema WID (Woman in Development) atau Perempuan dalam Pembangunan diubah menjadi WAD (Woman and Development) atau Perempuan dan Pembangunan. Perubahan ini mengandung makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas.[7]
Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan “the 34thCommisson on the Status of Woman”. Dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan laki-laki, yang tampaknya juga kurang membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Studi Anderson (1992) dan Moser (1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan laki-laki, maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik.[8] Oleh karena itu, dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki atau sebaliknya.
Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Confrence in Woman(ICPD) di Kairo 1994 dan dalam The 4ththe World Conference on Woman di Beijing tahun 1995. Dari konfrensi tersebut disepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang mendasar, yaitu dari pembahasan masalah yang bersifat fisik biologis (biological sphere) ke masalah yang bersifat sosial budaya (socio-cultural sphere).[9]
Dari pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa lahirnya gender dan feminisme banyak diinspirasi oleh Negara-Negara Barat. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografis.[10]
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Gender dan perjuangannya muncul di banyak negara disebabkan karena suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa isu kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan 21 dengan rincian sebagai berikut:[11]
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1. Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1. Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak-hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan dan dengan yang bersifat suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Negara Kuwait merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam. Namun, bersamaan dengan proses modernisasi yang dilancarkan oleh kolonialisme barat, muncul aliran modernisasi di dalam pemikiran sebagian umat Islam yang berpengaruh terhadap masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya Kuwait. Pengaruh modernisasi yang terpenting ialah masuknya unsur liberalisme dan feminisme yang menyentuh emansipasi wanita termasuk di dalamnya masalah politik perempuan.
Kuwait telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan, banyak diwarnai oleh jiwa ke Islaman. Keikutsertaan Kuwait dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global terlihat sangat aktif melalui konfrensi-konfrensi antar bangsa, yakni dalam 4 (empat) konfrensi besar yang telah dilaksanakan di berbagai negara. Salah satunya adalah pada Konfrensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995. Deklarasi Beijing dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan, melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, akses dan penggunaan teknologi informasi.[12]
Kuwait adalah satu di antara banyak negara yang terlibat dalam wacana isu pembangunan perempuan. Kuwait telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1999, dimana CEDAW ini bertujuan untuk mengintegrasi perempuan sepenuhnya dalam proses pembangunan negara. Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat meloloskan undang-undang yang memberi hak politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50 anggota parlemen.[13]
Sebelum Undang-Undang pemilihan umum diubah, perempuan Kuwait tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen memutuskan untuk memberi hak politik bagi perempuan. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan.[14]
Tuntutan kaum perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan bila parlemen Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.[15]
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi kaum lelaki saja tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan memberikan hak penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35 suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.[16]
Ketika tahun 1999, Emir Kuwait saat itu adalah Sheikh Jaber al-Ahmad al-Sabah sebenarnya juga telah mengajukan dekrit yang mendukung perempuan mendapat hak pilih, yang diajukan kerajaan tetapi ditolak oleh Majelis Nasional. Para anggota parlemen dari kalangan Islamis dan kesukuan menolak langkah Emir karena menurut mereka melanggar tradisi agama Islam dan masyarakat Kuwait. Begitulah kaum konservatif Islam selalu beralasan, bertentangan dengan tradisi budaya dan penafsiran agama yang telah lama berkembang di Kuwait. Selama enam tahun setelah dekrit itu gagal para kaum perempuan terus berjuang sampai parlemen meloloskan rancangan undang-undang yang menjamin hak politik bagi semua golongan.
Selama bertahun-tahun pula perempuan Kuwait berjuang untuk memperoleh hak politik penuh, namun upaya mereka selalu digagalkan oleh kubu muslim garis keras dan kelompok-kelompok suku didalam parlemen yang semuanya pria. Hal ini disebabkan karena dari kubu Islam yang berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota parlemen yang berjumlah 50) ditambah dari kubu suku selalu menang dalam berbagai voting suara di parlemen. Maka setelah sidang maraton selama 10 jam, parlemen yang seluruh anggotanya laki-laki mengesahkan Amandemen Undang-Undang tersebut dengan mayoritas besar. Setelah Amandemen Undang-Undang itu disahkan, warga Kuwait menyambut gembira, mereka turun kejalan untuk merayakan kemenangan mereka.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Kuwait menyelenggarakan pemilu, untuk pertama kalinya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai kandidat anggota parlemen. Dalam pemilu tersebut terdapat 253 kandidat, 28 di antaranya perempuan yang akan memperebutkan 50 kursi parlemen. Setelah satu tahun memenangi hak berpolitik, ke-28 perempuan itu akhirnya benar-benar terjun ke panggung politik.
Para perempuan itu akan menghadapi banyak halangan mengingat tradisi Kuwait yang tidak mendukung ide kesetaraan peran perempuan dan laki-laki. Selain ke-28 perempuan yang mayoritas kandidat Independen, 50 kursi parlemen juga diperebutkan 60-70 kandidat dari oposisi, seperti kelompok islam, liberal, dan nasionalis. Di antara mereka terdapat 28 dari 29 anggota parlemen yang pernah mundur dari parlemen akibat konflik berkepanjangan di pemerintahan tentang masalah reformasi pemilu yang kemudian berakhir dengan pembubaran parlemen yang dilakukan oleh Emir Syeikh Sabah al-Ahmad al-Sabah karena muncul perselisihan antara pemerintah dan oposisi menyangkut reformasi pemilu.
Selama masa kampanye, berbagai organisasi dan kandidat Independen menyuarakan isu anti korupsi. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu kala itu lebih ramai dengan kandidat perempuan dan orang-orang muda yang belum berpengalaman dalam pemilu. Berbagai organisasi remaja dibentuk untuk membantu kampanye kandidat muda.[17]
Setelah hasil penghitungan suara diumumkan calon-calon perempuan legislatif Kuwait gagal meraih kursi di parlemen dalam pemilu bersejarah di negara itu. Hasil penghitungan suara tersebut menunjukan calon legislatif islamis dan eks anggota legislatif pro-reformasi menyapu bersih perolehan suara dan tak satu pun kursi untuk ke-28 calon legislatif perempuan. Padahal, populasi pemilih perempuan mencapai 57 persen dari total 340.000 orang pemilih sah.
Kaum perempuan sebelumnya sudah menduga, kandidat islamis koservatif dan daerah bakal menjadi penghalang bagi kandidat-kandidat perempuan. Hasil penghitungan suara menunjukan, oposisi meraih hampir dua pertiga kursi. Kubu oposisi makin kuat dipersatukan dengan satu sikap menentang pemerintahan korup. Kemunculan kuat kubu oposisi memunculkan kemungkinan makin dalamnya ketegangan antara parlemen baru dan pemerintah. Sedangkan 20 dari 29 kandidat eks anggota legislatif terpiliih kembali untuk Majelis Nasional pada saat itu. Mereka inilah yang membentuk poros aliansi oposisi. Perjuangan Perempuan Kuwait yang tak kenal lelah itu merupakan suatu bukti bahwa mereka mampu membuktikan keadilan dinegaranya dan menjadi tauladan bagi kaum perempuan dunia yang sampai saat ini masih belum mendapatkan hak politik.
Melihat persoalan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah yang akan difokuskan dengan judul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait : Kendala dan Prospeknya”.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Post a Comment