Home » » Strategi Peningkatan Kinerja Aparat Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Kediri (AN-8)

Strategi Peningkatan Kinerja Aparat Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Kediri (AN-8)

Written By Unknown on Wednesday, 31 October 2012 | 01:38

BAB I 
PENDAHULUAN


1.1.   Latar Belakang
  Lebih dari tiga dasa warsa Program Keluarga Berencana Nasional dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut telah banyak hasil yang dicapai, salah satu bukti keberhasilan program antara lain semakin tingginya angka pemakaian kontrasepsi (prevalensi) berdasarkan pendataan keluarga tahun 2003 di Kabupaten Kediri memperlihatkan proposi peserta KB untuk semua cara tercatat sebesar 211.703 akseptor atau 74,85  %, dari PUS sebesar 282.821.
Angka prevalensi yang dicapai ini telah dapat memberikan kontribusi cukup besar terhadap turunnya angka fertilitas, pada saat awal program KB dimulai angka fertilitas di Kabupaten Kediri tercatat sebesar 5,61 per wanita PUS, di tahun 1980 angka TFR telah turun menjadi 4,68 per wanita PUS,  di tahun 1987 telah dapat ditekan menjadi 3,39, sedangkan pada tahun 1990 semakin turun menjadi 3,31, berdasarkan hasil pendataan keluarga tahun 2003 TFR menjadi 2,01.
Semakin berkurangnya angka kelahiran di Kabupaten Kediri dengan sendirinya berpengaruh terhadap angka pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin menurun memberikan dampak pada jumlah penduduk secara keseluruhan. Hasil pendataan keluarga tahun 2003 di Kabupaten Kediri, yang terbagi 23 Kecamatan memperlihatkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Kediri tercatat sebesar 1.460.271 jiwa, terdiri dari 727.094 jiwa penduduk laki-laki dan 733.177 jiwa  penduduk perempuan. Nampaknya kepadatan penduduk berada di ibu kota Kabupaten yaitu Kecamatan Pare yang terdiri dari 18 Desa dengan jumlah penduduk sebesar 141.542 jiwa terdiri dari 70.674 jiwa penduduk laki-laki dan 70.868 jiwa penduduk perempuan sedangkan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) relatif besar yaitu 25.114. Tentunya hasil yang dicapai ini bukan hanya merupakan dampak dari program KB semata tetapi juga karena adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah maupun berbagai dukungan dari lintas sektoral
Kebijakan-kebijakan pembangunan seperti pengendalian pertumbuhan penduduk, penyebaran penduduk, serta peningkatan taraf hidup masyarakat telah dilakukan, usaha tersebut diterapkan dalam bentuk program, salah satu diantaranya adalah Program Keluarga Berencana Nasional.
Program Keluarga Berencana Nasional pada hakekatnya adalah merupakan program masyarakat yang menghimpun dan mengajak semua potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia..     

 
Saat ini Indonesia telah mulai melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada keadilan dan kesetaraan jender dalam program KB. Sejalan dengan kondisi yang ditempuh, maka upaya peningkatan partisipasi pria dalam KB merupakan tantangan program dimasa mendatang yang dihadapi bersama, sementara itu kondisi pada saat ini partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Kediri masih sangat rendah yaitu sebesar 0,42 %. Hal ini merupakan masalah program yang utama dan dianggap paling menonjol, sehingga perlu penaganan yang serius saat ini. Dengan meningkatnya partisipasi pria dalam ber-KB nanti diharapkan memberikan kontribusi terhadap pengendalian pertumbuhan penduduk.
Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam KB yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan, sikap dan praktek serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu : sosial, budaya, masyarakat dan keluarga istri, keterbatasan informasi dan aksesabilitas terhadap pelayanan KB pria, keterbatasan jenis alat kontrasepsi pria, sementara persepsi yang ada di masyarakat masih kurang menguntungkan. Oleh sebab itulah upaya peningkatan partisipasi pria melalui advokasi perlu difokuskan pada faktor-faktor tersebut.
Untuk mencapai peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB diperlukan keterjalinan langkah baik dari instansi tehnis (BKKBN) maupun instansi lintas sektoral yang terkait, terutama pemerintah Desa sebagai ujung tombak pembangunan di wilayahnya.
Fenomena yang sering muncul dilapangan bahwa dalam pencapaian peserta KB dengan target yang telah ditetapkan dan penekanannya pada target kuantitas, sehingga pencapaian tersebut dianggap sebagai indikator keberhasilan. Untuk memenuhi target tersebut pemerintah memberikan motivasi dan memfasilitasi terhadap program KB mandiri, khususnya dalam penyediaan alat kontrasepsi dan pelayanan medis.
Usaha untuk melibatkan masyarakat dalam program KB Mandiri kurang adanya perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Hal tersebut harus dibentuk melalui persepsi positif terhadap suatu program. Sedangkan persepsi positif terhadap suatu program pembangunan termasuk program KB terbentuk dari informasi yang diterima dari sumber informasi yang layak dipercaya. Disinilah peranan Kepala Desa / kelurahan  sangat menentukan sebagai pemimpin masyarakat untuk bersama-sama dengan petugas pelaksana tehnis memanfaatkan segala potensi yang ada di masyarakat, termasuk tokoh agama, tenaga medis dan tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan tujuan dan manfaat ikut program KB khususnya KB mandiri.
Dalam penjelesan Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di sebutkan bahwa Kepala Desa/kelurahan  mempunyai fungsi antara lain :
1.                    Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah Desa.
2.                    Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kehidupan masyarakat Desa.
3.                    Program pembangunan yang masuk ke Desa/kelurahan  adalah program pembangunan Desa yang terdiri dari berbagai kegiatan sektoral dan secara tehnis operasional dilaksanakan bersama-sama oleh berbagai departemen lembaga non departemen termasuk program Keluarga Berencana Nasional.
Untuk pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab tersebut, diperlukan adanya koordinasi dan dalam pelaksanaan koordinasi ini Kepala Desa/kelurahan  berperan sebagai koordinator sesuai dengan bunyi pasal 10 dan 24 Undang-undang Nomor 5 tahun 2974, tentang pokok-pokok pemerintahan.
Program Keluarga Berencana Nasional yang dilaksanakan di tingkat Desa secara operasional dilaksanakan langsung oleh Pengendali Program Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) yang dibantu oleh Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) yang mempunyai potensi sangat terbatas dalam melaksanakan tugasnya yaitu tidak mempunyai otoritas terhadap masyarakat, sehingga dapat menghambat kegiatannya dalam memobilisasi dan merekrut Pasangan Usia Subur (PUS) menjadi akseptor, selain itu keterbatasan untuk memanfaatkan potensi pemimpin informal dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana Nasional, serta keterbatasan ketrampilan di bidang medis sehingga dalam melibatkan petugas medis mereka tidak memiliki kewenangan.
Kepala Desa/kelurahan  dalam melaksanakan tugas pembangunan di wilayahnya diharapkan dapat mengkoordinasikan semua kegiatan yang masuk ke Desa agar pelaksanaan programnya tidak menjadi tumpang tindih antara program yang satu dengan yang lainnya. Untuk tugas ini diperlukan kemampuan manajerial dan kepemimpinan Kepala Desa atau  dalam rangka mendayagunakan seluruh potensi masyarakatnya. Kemampuan ini sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengalaman dan wawasan seorang Kepala Desa/kelurahan, namun karena keterbatasan figur-figur pemimpin di tingkat Desa yang memiliki potensi tersebut ditambah dengan aspek tradisi yang cenderung money politic dalam pemilihan seorang Kepala Desa, sehingga kemampuan menajerial dan kepemimpinan para Kepala Desa tidak diperhatikan, sehingga tingkat kemampuan baik dari kuantitas maupun kualitas aparatnya sangatlah terbatas jika dikaitkan dengan padatnya program pembangunan yang harus dilaksanakan.
Dalam upaya pemerintah Desa bersama masyarakat untuk melaksanakan pembangunan Desa, hanya akan berhasil bila dilaksanakan dengan satu pola, sistem dengan mekanisme yang tepat sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat French & Raven bahwa ada lima bentuk kekuatan yang harus dimiliki seorang pemimpin apabila ingin menggerakkan mengubah sikap anggota masyarakat yaitu :
( 1 ) Reward power, ( 2 ) Coersive power, ( 3 ) Legitimate power, ( 4 ) Referent power dan ( 5 ) Expert power.  ( Mann, 1978 ). Jika dianalisis unsur yang terlibat dalam program KB mandiri ini, maka kelima kekuatan ini dimiliki jika semua potensi yang ada dalam masyarakat dilibatkan dan dikoordinasikan oleh Kepala Desa/kelurahan  sebagai pemegang otoritas.
Usaha ini baru bisa tercapai jika upaya koordinasi dilaksanakan oleh Kepala Desa/kelurahan  selaku penguasa tunggal diwilayahnya, agar semua potensi yang dibutuhkan dalam kaitan program dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh masyarakat, khususnya Pasangan Usia Subur ( PUS ) dalam menerima program pembangunan memerlukan informasi yang jelas dari sumber informasi yang mereka percaya. Apalagi kalau program yang bersangkutan menuntut pengorbanan, misalnya pengorbanan materiil, tenaga, pemikiran terlebih kalau menyangkut norma kebiasaan yang dianutnya, maka disinilah peran seorang Kepala Desa/kelurahan  sebagai pendamping instansi tehnis dalam melaksanakan programnya termasuk Program Keluarga Berencana  khususnya KB mandiri.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Turorial Grapich Design and Blog Design - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger