Latest Post

Menjalankan Alkitab 2.70 di Ubuntu Linux dengan Wine

Written By Unknown on Monday, 30 November 2009 | 22:42





Bagi umat muslim, membaca Al Qur`an ataupun melakukan searching ayat-ayat Al Qur`an sudah bisa dilakukan dengan mudah di Linux. Kita mengenal aplikasi Zekr, yang bahkan sudah ada dalam repositori Ubuntu. Sebuah aplikasi open source Al Qur`an digital untuk linux yang sangat powerful dan komprehensif, walau cukup berat. Yang paling penting tentu saja sudah ada built-in bahasa Indonesia untuk aplikasi Zekr, sehingga sangat mudah digunakan oleh umat muslim Indonesia.



Bagaimana dengan Umat Kristiani? Adakah aplikasi Alkitab digital untuk Linux? Ada. Setahu saya ada aplikasi bernama BibleTime, namun nampaknya belum ada built-in versi bahasa Indonesia-nya. Akhirnya, saya mendapat sebuah aplikasi Alkitab digital Bahasa Indonesia yang sejatinya merupakan aplikasi Windows, namun ternyata bisa dijalankan di Linux dengan menggunakan Wine.



Pertama, kita download aplikasi tersebut dari internet. Pengelola situs tersebut membagi paket installer Alkitab digital dalam 9 patch yang terpisah. Nampak tidak praktis, namun mungkin tujuannya agar tidak berat jika di download dengan koneksi yang lambat. Setelah semua patch di download, kita ekstraks semuanya dalam satu folder. Kita bisa menggunakan program unzip, unp, atau pun dengan GUI.



$ unzip *.zip

$ unp *.zip



Setelah itu, eksekusi file SETUP.EXE.



$ wine SETUP.EXE



Akan ada peringatan error, abaikan saja dan lanjutkan proses instalasi dengan menekan tombol instal (gambar komputer). Proses instalasi sangat singkat, dan kita bisa mengakses shortcut program Alkitab dari menu Wine>Programs>Alkitab 2.70



Secara keseluruhan bisa berjalan lancar dengan wine, hanya saja window tidak bisa di fullscreen. Kemudian, teks tidak bisa di copy-paste di OpenOffice.org. Walaupun begitu, fitur pencarian ayat dan kata-nya berjalan sempurna. Selain itu, ada pilihan versi Alkitab yang digunakan, yaitu Versi Terjemahan Resmi, Versi Bahasa Sehari-hari dan Versi King James.



The Medium Is the Message.

Written By Unknown on Wednesday, 25 November 2009 | 14:01



Last week, I attended an unusual evening built around neuroscientist David Eagleman's book of short stories about what happens when you die.

As well as the engaging conversation of Phillip Pullman, there were a series of live and recorded readings by luminaries such as Jarvis Cocker, Stephen Fry and Miranda Richardson. And it was this that fascinated me - some of us preferred the live performances, others found ourselves more engaged in the disembodied voice of the recorded readings.

In an attention economy, it is crucial to remember that distraction takes many different forms.

Jangan Terperdaya dengan Cepatnya Perkembangan Software di Linux



Jumlah kolom cukup satu





Menu pengaturan jumlah kolom di XFCE Zenwalk





Jumlah baris cukup satu



Workspace switcher di XFCE Zenwalk. Klik kanan untuk pengaturan.



Desktop Linux adalah sebuah sistem yang amat sangat dinamis. Perkembangan versi terbaru dari suatu desktop dan software dalam lingkungan Linux tidak terjadi dalam jangka berapa bulan atau tahun, tapi tiap hari. Sistem Linux yang dikembangkan oleh ribuan programmer di seluru dunia secara bergotong-royong, memberikan dampak positif berupa perkembangan versi software yang amat cepat.



Untuk perbandingan saja, jika di sistem operasi Microsoft Windows butuh waktu sekitar 3 tahun untuk merilis versi baru, maka di desktop Ubuntu Linux misalnya, hanya butuh waktu 6 bulan untuk merilis versi yang lebih baru. Apa implikasi negatif dari trend tersebut? User bingung! Padahal, sudah merupakan hukum pasti dalam logika perkembangan software, setiap versi yang lebih baru pasti akan membutuhkan ekuivalensi kebutuhan hardware yang lebih banyak. Itu sudah pasti !!



Sebagai contoh lagi, jika semisal dengan sistem operasi Microsoft Windows XP kita bisa jalan dengan memory 256 MB dan cukup lancar, maka jika kita berniat menggunakan Microsoft Windows 7, hal itu jelas mustahil! Pun dengan dekstop Linux. Semua desktop Linux—saya katakan semua--,entah itu Ubuntu, SUSE, Mandriva, Fedora, Slackware, dan atau Zenwalk, semakin baru versi dari desktop tersebut, maka resource hardware yang dibutuhkan akan semakin besar. Itu sudah pasti!!!!



Sebagai contoh saja, jika kita menggunakan Ubuntu 6.06 LTS (Dapper), kita masih lancar memakai Pentium II dan RAM 256, tetapi jika kita ingin upgrade ke Ubuntu 8.04 LTS, dengan sistem tersebut jelas mustahil! Lebih mustahil lagi kalau kita berkeinginan menggunakan Ubuntu 9.04?



Apa intinya? Jangan terperdaya dengan cepatnya perkembangan software di Linux. Jika kita memiliki resource hardware tertentu, dan sudah bisa menjalankan versi desktop Linux tertentu dengan stabil dan cepat—ingat, STABIL DAN CEPAT—maka sungguh tak perlu kita tertarik mencoba versi desktop yang lebih baru. Karena apa? Karena itu tindakan yang mubadzir!! Tak ada perbedaan signifikan dari versi desktop yang lebih baru. Perkembangan yang beda paling terletak pada driver yang disertakan. Jika semua hardware kita sudah bekerja dengan sangat sempurna dan efisien (cepat), kenapa harus tergoda dengan sistem yang lebih baru?



Masalah ini saya temui di salah satu warnet di kota saya. Saya suka menggunakan warnet tersebut karena dua hal, pertama karena kecepatan per-klien yang diatur secara statis sehingga stabil, dan kedua, karena warnet tersebut menggunakan desktop Zenwalk Linux.



Namun belakangan, saya sering kesal dengan kinerja komputer di warnet tersebut. Apa pasal? Karena sang operator yang iseng!! Dia sangat hobi mengutak-atik dan mencoba desktop baru Linux tanpa memperhitungkan keampuan resource hardware yang ada! Dulu, ketika warnet tersebut masih memakai versi Zencafe lama (saya lupa versinya), komputer-komputer di warnet tersebut sangat memuaskan. Kecepatannya sungguh bisa diandalkan. Tak pernah saya menemukan hung. Namun belakangan, semua sistem di warnet tersebut di ganti ke sistem Zenwalk terbaru, padahal resource hardware-nya terbatas. Apa jadinya? Sistem menjadi sangat berat!! Saya sungguh kesal dan ingin protes. Tapi apa daya? Walaupun saya pelanggan warnet tersebut!



Dulu saya pernah mengeluhkan hal tersebut kepada sang operator, dan beliau berkilah itu alasan proses upgrading OpenOffice.org 3.0. Apa hubungannya? Upgrade OpenOffice.org sama sekali tak ada hubungannya dengan versi sistem yang dipakai! Kita bisa menginstalasi OpenOffice.org 3.0 di sistem Ubuntu 7.04, kita bisa menginstalasi OpenOffice.org 3.0 di desktop Linux yang sangat lama. Tak ada masalah!!



Terakhir, sang operator berkelih lagi katanya sistem yang baru lebih minimal dari bug! Bah!! Alasan apa itu? End user seperti kita, tak akan peduli dengan bug-bug kecil yang tak terasa. End user seperti kita hanya mengidamkan kecepatan sistem. Yang penting cepat! Itu intinya!!



Ingin sekali saya menyarankan proses downgrading sistem kepada operator tersebut, namun saya sungkan. Beliaunya agak susah diajak diskusi secara terbuka. Jadi saya menulis “keluhan konsumen” di sini agar rekan-rekan aktivis Linux yang ingin membuka warnet Linux harus mengedepankan prinsip yang paling fundamental ini, yaitu KECEPATAN SISTEM.



Selanjutnya, saya hanya ingin memberi satu masukan, dalam desain desktop Linux bagi warnet. Jangan aktifkan virtual desktop! Itu sungguh tindakan amat mubadzir. Seperti dalam warnet yang saya bicarakan tersebut. Bayangkan, virtual desktop yang diaktifkan sampai 4 !! Alangkah mubadzirnya! Maka jika saya berkunjung ke warnet tersebut, saya pasti akan mengatur virtual desktop agar hanya tinggal satu desktop saja. Yaitu :



Pertama, klik kanan pada workspace switcher, dan pilih properties. Kemudian kurangi jumlah barisnya hingga tinggal satu. Setelah itu, saya kurangi jumlah kolom desktop. Caranya, pada XFCE menu>Settings>Workspace, kemudian kurangi jumlahnya menjadi satu. Sekarang saya punya desktop yang cuman satu, dan sistem agak lebih ringan.



Begitulah share dari saya tentang Linux, semoga bisa menambah wawasan kita semua. Pesan moralnya adalah, berbijak-bijaklah mengatur desktop Linux, agar sesuai kebutuhan dan tepat guna. Yaitu sistem yang efektif (bekerja normal dan stabil), dan efisien (hemat memori, kinerja cepat). Jika kita sudah mendapat dua hal tersebut, sungguh, jangan tergoda sedikit pun untuk mencoba sistem yang lebih baru, karena belum tentu cocok untuk sistem kita yang sudah bekerja maksimal.



Selamat berkarya dengan Linux !

Thank You Notes.

Written By Unknown on Tuesday, 24 November 2009 | 08:50

It was interesting to hear a group of newspaper letter-editors reporting an increase in one type of letter. The type where readers make public their appreciation of customer service that they have recently received.

Therein lies the seeds of an economic direct-mail campaign focussed on every local newspaper in your markets, but I'd say it was safer and smarter to focus on your customer service quality and let your customers do the direct-mail part for you.

The (Same Old) 4Ps Of Marketing 2.0.

Written By Unknown on Thursday, 19 November 2009 | 15:17

When the new "paradigm" comes along, people often describe it in ways that differentiate it totally from what came before. Often to enhance their guru status. That's a mistake. Revolution is rare - evolution far less so. Relating the new to the old can be much more insightful and is also more welcomed by the unconverted.

In that vein, I prefer to look at marketing 2.0 in terms of existing frameworks rather than throwing the baby out with the bathwater. After all, the two ends of the transfer are still essentially the same - there is stuff and there are customers. They may be changed people and it often is new stuff, but the real changes lie in the interaction between the two. The traditional 4Ps still apply, but they present new problems.


Price

Economic theory dictates that equilibrium prices equal marginal cost. In the digital world of cost-less replication, that price is increasingly tending towards zero.

While that may not make obvious business sense to producers, there is all too often someone who will think they can do this profitably via aggregation or just delusion and there is increasingly an audience who expect it to be so. Thus, even if you are not valuing your worth at zero, they are.

Solution – sell something with a marginal cost greater than zero.


Place

This used to mean distribution and it used to be on the high street. Now its more likely to mean visibility and is increasingly found online – not necessarily for the final purchase, but certainly for the discovery

It’s not so much about identifying the best places to capture physical footfall. It’s about being wherever the digital footfall is. Fish where the fish are – don’t expect them to come to you anymore. Just as "now is preferable to free", so too is proximity.

Solution – be searchable, findable and spreadable.


Promotion

Promotion has all too often been confused for the totality of marketing. Moreover, it's arguably been shown to be less effective than previously believed. Vested interests resist but we have to think more closely and seriously about what we mean by promotion (not just advertising) and what the role of marketing/promotion is.

As connectivity gets greater, promotion gets smaller – that doesn't mean restricted, just more personal. Don’t dictate what users do with your offering, just give them space to use it and reason to proselytise it.


Solution - fan club not fanfare.


Product

Product is still the most important element of the marketing mix. It's just clearer that this is the case, that bad products are more easily uncovered/spoken about and that the definition of product must be expanded to include customer service and usability.

Your product/service has, of course, to be unique and remarkable. But what has changed is the "always in beta" philosophy of "fail quickly, fail cheaply". You don't dictate what the product is, you make a suggestion and adapt it in response to your users' wishes.

Solution - have a point of view, not a point of functional differentiation.


Bottom line - you can create all the additional Ps you like. Yes, we need to consider participation, permission and proximity. Just don't tell me that's new or that the old disciplines no longer apply. It isn't and they do.

Desktop Indah dan Fungsional dengan Screenlets

Written By Unknown on Wednesday, 18 November 2009 | 05:59





Dalam daripada sistem operasi Mac OS X dan atau Microsoft Windows Vista dan Seven, dikenallah dengan yang namanya desktop applet. Fungsi daripada desktop applet adalah untuk memperindah desktop kita dengan tempelan-tempelan seperti Jam dinding, kalender, pengukur proses sistem, pengukur cuaca, RSS Feed, dlsb dlsb. Secara sepintas memang amatlah indah dan cukup fungsional. Semisal tempelan bentuk jam dinding. Alih-alih memandangi angka kecil di pojok taskbar, akan lebih elok dan sedap di mata manakala kita memandangi bentuk jam dinding yang lebar dan luas. Selain daripada hal demikian, tempelan daripada semisal RSS Feed, akan sangat berguna jikalau manakala kita memang terhubung ke jejaring daripada internet.



Sayang sekali, fitur-fitur daripada hal tersebut yang demikian itu, terasa cukup ribet manakala dijalankan di sistem Vista. Tak lain dan tak bukan karena memang sistemnya yang berat, jadi manakala kita tambahi dengan hal-hal demikian itu akan menjadi semakin berat. Tentulah hal demikian akan terasa sama manakala diimplementasikan di desktop OS X, cukup ribet.



Nah, yang demikian itu, akan terasa menjadi berbeda bila dijalankan di desktop Linux. Di desktop Linux, kita mengenal aplikasi sejenis semisal Superkaramba, yang mana merupakan bundel daripada desktop KDE yang elok itu. Namun ternyata, sekarang telah ada aplikasi sejenis yang sifatnya amat ringan dan indah, yang bernama screenlets. Aplikasi ini dibuat menggunakan bahasa daripada Phyton.



Karena aplikasi ini telah cukup popular, sudah terdapat dalam daripada banyak repositori distribusi major seperti Ubuntu, Debian dlsb dlsb. Juga dengan demikian cukup mudah untuk menginstalasikannya :



$ sudo apt-get install screenlets



Setelah terinstalasi, kita tinggal menjalankan Screenlets Manager dan meng-klik tempelan-tempelan apa saja yang kita butuhkan. Agar tempelan tersebut berjalan tiap kali boot, centanglah opsi “Auto start at login”.



Tampilan daripada tiap tempelan sendiri ada beberapa pilihan. Jika kita meng-klik kanan pada tiap item, akan ada pilihan mengatur ukuran tempelan. Kemudian juga perilaku daripada tempelan tersebut. Semisal pilihan Window>Keep below, berarti tempelan tersebut akan selalu berada dibawah/dibalik window aplikasi lain yang sedang dijalankan, sehingga tidak mengganggu kerja kita. Ada opsi Window>Lock, adalah agar peletakan tempelan tersebut tidak bisa digeser-geser lagi (untuk mengunci posisi). Dan masih banyak pengaturan yang lain.



Demikianlah sekilas tentang daripada aplikasi yang bernama Screenlets. Semoga semakin menjadikan banyak orang untuk berminat menggunakan daripada Linux.

Have You Heard the One About Differentiation?

Written By Unknown on Sunday, 15 November 2009 | 04:39

I read this in an unlinked article about the threat that online plagiarism presents to comedians' live performances.

The secret is to be unique so that they can't steal from you: "That's what comics should think about: it's not the jokes; it's about themselves. It's about your personality. They can't appropriate "you".

I'm sure you can see that the marketing punch-line writes itself.

RUNZ framework, Masa Depan Software Packaging Linux?

Written By Unknown on Saturday, 14 November 2009 | 00:48









Di lingkup teknis sistem operasi Microsoft Windows, kita mengenal pemaketan software berbasis single installer dengan esktensi *.exe. Pun juga di lingkup sistem operasi Mac OS X, yang menggunakan sistem pemaketan software yang hampir sama, dengan ekstensi *.dmg. Di Linux, sistem pemaketan software terasa lebih complicated. Di Linux kita kenal adanya software dependencies, yaitu suatu keadaan, dimana satu paket tertentu, agar bisa diinstalasi dan dijalankan, membutuhkan satu atau beberapa paket lain. Seringkali dalam banyak contoh, ketergantungan suatu paket software desktop Linux jumlahnya sangat banyak. Satu paket software membutuhkan puluhan paket software yang lain. Ketergantungan antar-software dalam Linux tersebut bukan tanpa sebab. Linux, sebagai bagian dari FOSS, dikembangkan oleh ribuan pemrogram di seluruh dunia dengan payung yang berbeda-beda. Bahkan banyak juga yang merupakan pemrogram individu. Setiap pemrogram bebas untuk mengembangkan software milik orang lain, untuk diperbaiki, diperbaiki dan terus berlanjut. Banyak juga software yang dibuat dengan memanfaatkan software-software yang sudah ada. Karena kondisi inilah maka terciptalah suatu lingkaran saling ketergantungan antar-paket software dalam Linux yang di kenal dengan software dependency. Bukan hal yang kurang atau buruk, sama sekali bukan. Software dependency adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem terbuka Linux yang luar biasa.





Di sistem Windows dan Mac-pun, secara teknis mendasar sama. Sebuah software, katakanlah Microsoft Office, juga terdiri dari jutaan paket penyusun. Hanya saja, karena kedua sistem tersebut adalah sistem proprietary yang sifatnya restricted—hanya bagi lingkungan internal, maka semua paket penyusun dipaket dalam satu bundel, sehingga terlihat praktis. Kenapa bisa dipaket dalam satu bundel? Tentu saja karena pengembangan software dalam kedua sistem tersebut dilakukan dalam satu payung perusahaan komersial yang sama. Semua proses dari yang paling awal hingga final packaging, dilakukan dalam satu tempat dan satu bendera komando yang sama.





Nah, setelah desktop Linux semakin berkembang dan populer, banyak hacker dan developer Linux yang berpikir untuk membuat suatu sistem pemaketan seperti dalam sistem Windows dan Mac. Implementasi lanjutan dari model tersebut antara lain adalah akan lebih mudahnya pembuatan aplikasi portabel di desktop Linux. Dan ternyata, memang sudah ada yang melakukannya, yaitu sebuah pengembang Linux bernama hacktolive.org, mengembangkan sebuah framework bernama RUNZ framework. RUNZ Framework adalah suatu desain baru pemaketan software Linux. Dengan menginstalasi RUNZ Framework, kita akan dengan mudah menginstalasi software apapun, yang telah di bundel menjadi package RUNZ. Ekstensi dari paket berbasis RUNZ adalah *.runz. Dengan RUNZ Framework ini juga, bisa dikembangkan paket software portabel Linux dengan mudah. Salahsatu contoh yang sudah saya coba adalah paket Opera 9.64 Portable For Linux yang dibundel menggunakan RUNZ Framework. Untuk mencobanya sangat mudah, yaitu pertama, download RUNZ Framework terlebih dahulu. Untuk sementara, paket RUNZ Framework baru tersedia dalam bentuk binari untuk Debian/Ubuntu. Setelah menginstalasi RUNZ Fremework, reboot sistem dan sekarang jalankanlah paket yang dibundel dalam format *.runz. Langsung bisa dijalankan!





Secara keseluruhan ini sangat menarik, walau bukan yang pertama. Jika dokumentasi RUNZ Framework lebih lengkap, bukan tidak mungkin ke depannya, setiap user Linux bisa dengan mudah mem-paket-ulang software kesukaan mereka agar bisa menjadi paket portabel yang bisa dijalankan di mana-mana.

Sebuah pilihan masa depan pengembangan sistem Linux.

Referensi terkait :



| Dokumentasi RUNZ Framework |

| Download RUNZ Framework | Download Opera 9.64 Portable |

Perhatian, Warning, Jangan Pernah Gunakan Trash di Linux !!

Written By Unknown on Thursday, 12 November 2009 | 07:11



Salahsatu ciri khas dari sistem operasi berbasis UNIX adalah adanya File Permission. Setiap file mempunyai atribut dari si pembuat / pemilik file. Nampak rumit, dan bagi saya juga terasa rumit :D



Satu kerumitan itu adalah manakala kita meng-copy file dari CD/DVD ke hardisk, file hasil copy tersebut beratribut Read Only. Walhasil, kita tidak akan bisa menghapus file tersebut sebelum kita merubah permission-nya menjadi read-write via terminal dengan hak akses root.



Nah, mengenai hal tersebut, saya pernah mengalami kejadian paling konyol dan menjengkelkan. Alkisah, pada suatu waktu, saya meng-copy sebuah DVD (bukan me-ripp). Nah, setelah saya selesai menonton DVD dari hasil copy-an tersebut, saya berniat menghapusnya dengan cara memindahkannya ke trash, sementara saya belum me-chmod permission-nya. Apa yang terjadi? Trash tidak bisa dikosongkan!! Arghhhh!



Saya bingung kalang-kabut. Saya coba akses trash dari terminal, dan saya ketik :



$ cd trash:///

Tidak bisa!!



Dimana alamat trash di terminal?



Lalu saya pun mencoba mengakses nautilus as root privillage, tetap saja tidak bisa! Padahal, ukuran file hasil copy DVD tersebut sebesar 4 GB! Waduh! Saya amat kebingungan hingga keputusan akhirnya saya instal-ulang sistem. Hyufff!!



Pelajaran paling berharga bila bekerja di sistem Linux/UNIX adalah, jika ingin menghapus file, hapuslah secara tuntas dan total, yaitu dengan menekan tombol Shift+Delete. Hapuslah file tanpa ampun (tidak usah memakai trash).



Seperti itulah!



Selamat ber-Linux!

Selamat Datang, Foxit Reader Linux !

Written By Unknown on Tuesday, 10 November 2009 | 00:24




Alkisah, dulu sekali (sekitar 2006), yaitu ketika saya masih menggunakan 'OS Jendela', saya sangat menyukai sebuah aplikasi PDF Viewer bernama Foxit Reader. Keunggulan aplikasi tersebut tentu saja adalah karena sangat ringan sekali, bahkan ketika saat itu dijalankan dikomputer Pentium 500 MHz saya. Dan juga, walaupun ringan, fitur daripada aplikasi Foxit Reader adalah sangat lengkap, sama sekali tidak kalah bila dibandingkan dengan aplikasi sejenis yang sudah sangat melegenda, Adobe Reader. Oleh karena hal tersebut, pada zaman-zaman OS Jendela masih menguasai komputer saya, Foxit Reader menjadi aplikasi andalan dan kebanggan saya. Saya sering mempromosikan aplikasi tersebut kepada rekan-rekan saya yang lain.


Nah, karena suatu kebetulan, ternyata saya menemukan juga bahwa Foxit Reader telah ada versi Linux-nya! Horeeeeeey!! Sungguh, saya sangat bergembira sekali. Saya seperti bernostalgia dengan aplikasi kebanggaan saya dulu, dan kini bisa dijalankan di desktop kebanggaan saya juga, Ubuntu Linux. Langsung saja saya download versi tarbal (*.tar.bz2), dan sungguh amat sangat ajaib, ternyata Foxit Reader Linux adalah sebuah aplikasi portabel, dan masih tetap sangat ringan!!


Sungguh ajaib, aplikasi ini sangat ringan, kalau boleh saya bandingkan, tingkat ke-ringan-annya sama dengan XPDF, dengan membawa segudang fitur yang menarik dan hebat. Wow wow wow! Karena aplikasi portabel, setelah paket tarbal di extract, kita bisa menjalankan aplikasi ini dengan meng-klik sebuah binari executable static linked bernama FoxitReader. Agar paten, maka kita masukan saja paket Foxit tersebut ke sistem Linux kita. Kita bisa memasukannya ke /opt, atau kemanapun kita suka, /usr/share mungkin.



$ sudo mv 1.1-release /opt -v
$ sudo mv 1.1-release /usr/share -v*
*) saya suka memakai opsi 'verbose' dalam operasi di Terminal, termasuk copy-move.


Setalah itu, kita buat symbolic link untuk binari FoxitReader kita ke direktori /usr/bin.

$ sudo ln -s /opt/1.1-release/FoxitReader /usr/bin/foxit


Agar muncul di menu, kita buat launcher-nya. Agar mudah, buat saja dari desktop Ubuntu. Klik kanan>Create Launcher, beri nama Foxit Reader, pada bagian command, ketik 'foxit' (tanpa petik). Sekarang kita sudah punya launcher Foxit Reader.desktop. Agar lebih pas, edit terlebih dahulu launcher yang baru saja kita buat, dengan gedit.


$ cd Desktop
$ gedit Foxit\ Reader.desktop

Tambahkan satu baris berikut :
Categories=Applications;Office;

Simpan, dan copy-lah launcher tersebut ke sistem :

$ sudo cp Foxit\ Reader.desktop /usr/share/applications -v (posisi masih di Desktop)


Terakhir, agar tiap file pdf kita terafiliasi ke aplikasi Foxit Reader, pada salah satu file pdf, klik kanan>Open With, tambah daftar list aplikasi pembuka (add), pilih use a custom command, dan ketik foxit.


Sekarang, kita sudah mempunyai Foxit Reader di desktop Linux kita. Aplikasi ringan-melayang, dengan segudang fitur. Selamat mencoba !


Catatan :
Sebenarnya ada versi DEB dan RPM di situs Foxit Reader, tetapi kemarin, ketika saya coba mengaksesnya, server download-nya terasa sangat lambat, mungkin waktu itu ada masalah, jadi saya download versi tarbal. Kalau mau yang lebih praktis, download saja installer untuk sistem kita (DEB atau RPM).

Memunculkan OpenOffice.org Math / Formula pada Ubuntu

Written By Unknown on Friday, 6 November 2009 | 22:48







Ubuntu adalah desktop Linux ter-populer. Sebabnya bisa bermacam-macam, yang paling populer adalah adanya pemesanan gratis shipit Ubuntu, dan dukungan paket software yang lengkap.



Daripada itu semua, default desktop Ubuntu sudah menyertakan beberapa paket mendasar yang sangat bagus, yaitu GIMP, Firefox, dan OpenOffice.org. Hanya saja, dalam hal paket OpenOffice.org, jika kita bandingkan dengan bundel paket OpenOffice.org di distribusi lain, bundel OpenOffice.ord di Ubuntu hanya menyertakan 4 paket dari keseluruhan paket OpenOffice.org, yaitu : Draw, Calc, Impress, dan Writer.



Sementara itu, untuk berbagai kebutuhan, paket lain dalam OpenOffice.org juga kita butuhkan, dalam hal ini paket OpenOffice.org Math dan Base. Dan untuk itu, kita bisa menginstalnya dengan sangat mudah melalui repositori online Ubuntu, atau DVD repositori Ubuntu :



$ sudo apt-get install openoffice.org-math openoffice.org-base



Namun ternyata, entah karena pertimbangan apa, paket OpenOffice.org Math di Ubuntu tidak akan muncul di menu. Hah? Ya! Dan setelah saya selidiki, memang demikian. Walaupun kita sudah menginstalasi paket OpenOffice.org Math ( OpenOffice.org Formula ) di Ubuntu, shortcut untuk mengakses OpenOffice.org Math tidak akan muncul di menu GNOME. Untuk mengaktifkannya, sangat mudah dan sederhana. Edit saja konfigurasi shortcut aplikasi yang ada, yang letaknya ada di /usr/share/applications.



Buka terminal,

dan lakukan pengeditan :



$ sudo gedit /usr/share/applications/openoffice.org-math.desktop



Pada file konfigurasi shortcut OpenOffice.org Math, carilah baris yang bertuliskan nilai berikut :



NoDisplay=true



Gantilah nilai true menjadi false, sehingga menjadi

NoDisplay=false



Atau yang lebih praktis, hapus saja baris tersebut, dan kemudian save.



Setelah itu, akses-lah menu GNOME. Sekarang shortcut OpenOffice.org Math (OpenOffice.org Formula) sudah muncul!



Selamat ber-Linux !

Marketer Of The Year.



"My customers will be happy I've been honest with them."
"I own my shelf-space and I can do anything I want with it."
"I don't work, I just play all day long."

More wisdom than you'll get from any marketing conference.

Marketing Isn't A Destination.

Written By Unknown on Thursday, 5 November 2009 | 04:10

One of my biggest gripes about the development of marketing is the increasing trend towards the outsourcing of thinking and execution to third party agencies.

It's not that the work done by those agencies is necessarily bad - indeed as a result of writing this blog I've had the pleasue of meeting innumerable practitoners who are smart, funny and conscientious (though rarely glamorous).

The problem is that they cannot be as invested in your company as you are and they shouldn't know your customers better than you do. But, all too often, marketing directors run the risk of becoming administrators of these third-party relationships rather than poduct/service champions.

Their career development is predicated on the budgets they manage rather than the results they achieve. They become the "client" and develop a client mindset. They forget that the true client is, in fact, the customer. And from there, it's all downhill.

Trust.

Written By Unknown on Tuesday, 3 November 2009 | 04:28

Today’s technology seems to threaten the sort of recurring and stable reciprocity that is the building block of trust.

That's the final sentence from a piece in today's New York Times about online hook-ups, but it uses all the adjectives that marketers should be double-checking. Marketing is not about conversations, it's about the quality and nature of the conversations you have and when you have them.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Turorial Grapich Design and Blog Design - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger